Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.

Menguji Taji Partai-Partai Baru di Indonesia

Oleh: Amanda Dea Lestari, S.H., M.H.

Bak cendawan di musim penghujan, amandemen UUD 1945 menjadi momentum menjamurnya partai politik baru sebagai wujud kebebasan berorganisasi rakyat untuk berkumpul dan berserikat. Animo dan hasrat politik rakyat untuk berpolitik begitu luar biasa, setidaknya tercatat 148 partai politik di Kementerian Hukum dan HAM pada awal reformasi. Sistem multipartai ini merupakan sebuah konteks politik yang sulit dihindari karena Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan dan pluralitas sosial yang sangat tinggi dan kompleks.

Fakta Empiris

Kebebasan politik pasca reformasi menghasilkan suatu kombinasi yang tidak lazim dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni kombinasi sistem pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai. Idealnya, untuk menjaga stabilitas pemerintahan dalam struktur politik presidensial, partai presiden haruslah partai mayoritas, yaitu partai yang didukung suara mayoritas di parlemen. Kekuatan mayoritas ini diperlukan dalam parlemen, untuk menjamin stabilitas pemerintahan presiden terpilih agar presiden mudah mendapatkan dukungan secara politik dari parlemen guna melancarkan kebijakan politik yang dibuat presiden. Namun, suara mayoritas ini sulit diperoleh oleh partai presiden dalam situasi multipartai, kecuali mengandalkan koalisi partai politik di parlemen dan kabinet agar dapat meraih suara mayoritas untuk menjamin stabilitas pemerintahan.

Realitanya kombinasi sistem pemerintahan dan kepartaian yang dianut Indonesia saat ini menimbulkan berbagai konflik yang berimplikasi pada kurang terbangunnya sistem pemerintahan presidensil yang kuat, stabil, dan efektif. Pertama, minimnya dukungan mayoritas terhadap presiden di parlemen yang menghasilkan koalisi tidak sehat di tubuh pemerintahan. Banyaknya partai politik yang mengikuti pemilu membuat sangat sulit bagi satu partai untuk memenangkan pemilu secara mayoritas di parlemen. Ini berujung pada minoritasnya dukungan presiden di legislatif, sekalipun partainya adalah partai pemenang pemilu, sehingga yang terjadi presiden meminta dukungan mayoritas di legislatif melalui koalisi yang melibatkan beberapa partai dan dapat mempengaruhi kabinet presiden.

Meminjam pendapat Scott Mainwaring, jarang sekali presiden terpilih dari partai mayoritas dengan terpilihnya minority president. Untuk mencapai mayoritas di parlemen maka presiden akan berupaya untuk memperkuat posisinya dengan cara melakukan koalisi, namun membangun koalisi yang stabil jauh lebih sulit dalam demokrasi multipartai presidensial. Sebab, koalisi tidak bersifat mengikat sehingga keinginan bagi partai politik untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem presidensial.

Kedua, pengambilan keputusan, presiden harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan partai koalisi yang ada, sehingga hal ini justru mempersulit dan mempengaruhi subjektivitas presiden dalam pengambilan keputusan. Koalisi akan memperkuat pemerintahan apabila memiliki satu visi dan misi. Sebaliknya, koalisi dapat juga menjadi ancaman bagi pemerintah dengan beralih menjadi oposisi jika kepentingan partai tersebut tidak sejalan dengan Presiden. Keadaan ini secara tidak langsung membuat kedudukan Presiden yang kuat dalam konstitusi menjadi lebih lemah dalam sistem multipartai ini. Hasilnya adalah hubungan eksekutif dan legislatif yang terus menerus tegang dan berkonflik yang berujung pada kebuntuan (deadlock).

Ketiga, adanya pembagian jabatan politik dalam jajaran kabinet. Dalam konteks ini Presiden harus menempatkan perwakilan anggota partai koalisi dalam susunan kabinet. Apabila tidak ditempatkan, tentu partai politik akan keluar dari koalisi sehingga kedudukan presiden semakin melemah. Koalisi yang terjadi tentunya tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan partai politik yang ada. Susunan kabinet yang mestinya harus diisi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat diandalkan dalam menjalankan tugas presiden namun yang terjadi justru anggota kabinet yang memiliki SDM yang tidak memadai, hal ini terjadi akibat perhitungan politik yang menempatkan beberapa anggota partai politik koalisi untuk dimasukkan dalam jajaran kabinet.

Subjektivitas presiden dalam pengambilan keputusan sangat tidak sejalan dengan teori kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam konsep demokrasi, kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Demokrasi memerlukan keterbukaan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan, bukan malah terjebak pada kepentingan-kepentingan koalisi partai yang berbeda-beda.

Amanda Dea Lestari

Contohnya praktek ketatanegaraan selama pemerintahan SBY-Boediono merupakan fakta bahwa sistem presidensil yang diikuti dengan sistem multipartai ternyata menjadi persoalan serius bagi presiden yang berkuasa. Seperti kasus penggunaan hak angket oleh DPR dalam kasus Bank Century yang dalam hasil voting dimenangkan oleh opsi yang menyatakan bahwa dalam kasus bail out terhadap Bank Century terjadi pelanggaran hukum, hasil voting ini dianggap kekalahan dari partai politik pendukung pemerintah dan dianggap sejumlah partai politik pendukung pemerintah melakukan pengkhianatan terhadap kontrak politik yang telah disepakati.

Keempat, koalisi yang rapuh. Penerapan presidensialisme dalam konteks multipartai pragmatis cenderung memunculkan intervensi politik terhadap presiden dan sebaliknya presiden cenderung mengakomodasi kepentingan partai politik dalam menyusun kabinet. Pembentukan kabinet yang semula merupakan hak prerogatif presiden, dalam sistem presidensial kompromis ini presiden ikut melibatkan peran partai politik. Dalam keadaan ini, hak prerogatif presiden akan direduksi. Reduksi kekuasaan presiden akan semakin kuat apabila koalisi yang terbangun tidak memiliki kedekatan secara ideologis atau bersifat pragmatis. Implikasi dari pola intervensi dan akomodasi ini menyebabkan model koalisi pendukung pemerintah yang terbangun adalah koalisi yang rapuh. Kerapuhan ikatan koalisi disebabkan partai politik pada umumnya tidak memiliki kedekatan secara ideologis, dan komposisi partai politik yang berkoalisi cenderung berubah-ubah.

Fenomena Partai Politik Baru Indonesia

Terlepas dari fakta fakta tersebut, terdapat pertanyaan sederhana, mengapa muncul partai politik baru di Indonesia menjelang Pemilu? Alasan utama tidak lain dan tidak bukan adalah terjadinya konflik elit di internal partai politik tersebut. Faksionalisme dan konflik internal dalam sebuah partai politik bukanlah suatu hal yang baru, ini merupakan proses politik yang wajar terjadi dan bergantung kepada pimpinan partai politik tersebut, apakah bisa menyatukan perbedaan yang muncul atau tidak. Jika perbedaan tersebut tidak dapat disatukan, biasanya beberapa kader partai akan keluar dan memilih bergabung dengan partai lain atau membentuk partai politik baru. Misalnya saja, lahirnya partai PDIP adalah bentuk dari ketidakpuasan sebagian kader terhadap kepimpinan PDIP pada waktu itu di bawah pimpinan Suryadi sehingga Megawati memisahkan diri dan membentuk partai baru bernama PDIP.

Dalam partai Golkar pun juga terlihat hal yang sama, tokoh-tokoh yang tidak cocok dan sejalan dengan garis perjuangan akhirnya membentuk partai baru seperti Surya Paloh dengan Nasdemnya, lalu Wiranto dengan Hanuranya. Hal yang sama juga dilakukan Hary Tanoesoedibjo yang semula berada di Hanura kemudian keluar karena tidak cocok dan membentuk partai Perindo.

Alasan kedua, adanya tokoh-tokoh politik yang ingin maju dan berkompetisi dalam panggung nasional. Tentu saja untuk maju dan berkompetisi dalam panggung nasional seorang tokoh harus memiliki atau membentuk partai politik sebagai kendaraan rasional untuk dipilih. Sebagai contoh, di masa reformasi Amin Rais membentuk PAN, lalu munculnya partai Demokrat yang dibentuk oleh SBY yang akan berkompetisi di panggung nasional saat itu.

Ketiga, adanya romantisme dan nostalgia masa lalu. Hal ini menarik, karena nostalgia masa lalu berkaitan dengan aktifitas sebuah partai politik yang dahulu pernah ada, eksis, dan mendapat simpati dari masyarakat baik dari partai politiknya maupun tokoh-tokohnya. Memori nostalgia ini lah yang kemudian ingin dibangun ulang pada masa sekarang, tentu saja harapannya masyarakat ingat pada nostalgia dahulu dan berlanjut memilih partai tersebut. Sebagai contoh partai Masyumi (Reborn) yang saat pembentukannya dinahkodai oleh Cholil Ridwan, Abdullah Hehamahua, dan MS Kaban. Sebelum dibubarkan oleh Presiden Soekarno, partai Masyumi adalah partai politik terbesar pertama di Indonesia. Oleh karena itu ada keinginan dari segelintir orang untuk membawa romantisme dan nostalgia dahulu untuk bisa di bawa ke masa sekarang sehingga masyarakat bisa memilih partai Masyumi sebagai preferensi mereka dalam panggung politik Indonesia.

Menguji Taji!

Menjelang pemilu 2024 ini saja terdapat beberapa partai baru yang mencoba menarik simpati dan merebut hati masyarakat, diantaranya Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Partai Ummat, Partai Masyumi, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), Partai Usaha Kecil Menengah (PUKM), Partai Indonesia Terang (PIT), Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai), Partai Nusantara, Partai Indonesia Damai (PID), Partai Idaman besutan Rhoma Irama, Partai Indonesia Kerja (Pika), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Republik, Partai Bhinneka, dan Partai Rakyat. Beberapa di antaranya sudah memperoleh status sebagai badan hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Menjadi tantangan tersendiri bagi parpol baru untuk bersaing dalam panggung nasional 2024. Tidak hanya pemilu presiden, pada saat yang sama partai politik juga harus menyiapkan pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah serentak. Tantangan pertama yang harus dilewati adalah masuk menjadi peserta pemilu. Parpol yang sudah memperoleh status sebagai badan hukum dari Kemenkumham, tidak otomatis dapat menjadi peserta pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mensyaratkan status badan hukum parpol harus sesuai dengan undang-undang parpol, memiliki kepengurusan dan kantor di seluruh provinsi, 75% kabupaten kota, dan 50% kecamatan, serta keanggotaan minimal 1000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk yang dibuktikan dengan kartu anggota. Berkaca dari pengalaman Pemilu 2019 lalu, Komisi Pemilihan Umum menetapkan sebanyak tujuh parpol yang sudah berstatus sebagai badan hukum tidak dapat mengikuti Pemilu 2019. Penyebabnya karena tidak memenuhi syarat minimal keanggotaan atau kepengurusan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun kecamatan.

Tantangan kedua, parpol baru harus mampu melewati ambang batang parlemen atau parliamentary threshold. Ambang batas ini merupakan syarat bagi parpol peserta pemilu untuk diikutsertakan dalam proses pembagian kursi di Legislatif. Tujuannya, adalah untuk mengurangi jumlah parpol di DPR. Hal ini dikenal dengan istilah rekayasa penyederhanaan sistem multipartai menuju multipartai sederhana. Rekayasa ini dapat dibenarkan untuk menstabilkan hubungan eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensial multipartai. Dalam pandangan ekstrem penulis, perlu didesain penyederhanaan jumlah partai di lembaga parlemen yakni dengan menerapkan parliamentary threshold sebesar 5% secara konsisten. Diharapkan dengan angka tersebut nantinya di lembaga parlemen hanya ada sekitar 5 sampai 6 partai saja atau dapat dikatakan dengan istilah multipartai sederhana. Dengan berkurangnya jumlah partai dalam lembaga parlemen berarti juga jumlah fraksi yang ada dalam parlemen menjadi berkurang. Dengan demikian proses-proses politik di parlemen menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances yang proporsional. Jika jumlah partai dalam lembaga parlemen sedikit berarti konfigurasi koalisi partai pendukung pemerintah semakin sedikit juga namun  akan semakin kuat dan kokoh.

Pasal 414 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menetapkan ambang batas parlemen adalah 4 persen. Artinya, bila parpol ingin mendapatkan kursi di DPR, walau hanya satu kursi, mereka harus mendapatkan suara sah dari pemilih secara nasional minimal 4 persen.

Artinya, bila parpol ingin mendapatkan kursi di DPR, walau hanya satu kursi, mereka harus mendapatkan suara sah dari pemilih secara nasional minimal 4 persen dari keseluruhan suara sah. Dengan demikian, parpol-parpol yang baru dibentuk belakangan ini harus berjuang ekstra bila tidak mau dikatakan hanya “numpang lewat”. Hal ini mendorong partai politik untuk menjalankan peran politiknya dengan baik mulai dari komunikasi, rekrutmen, partisipasi, dan sosialisasi khususnya dalam menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Sehingga parpol yang lahir tidak hanya untuk melanggengkan kekasaan semata. Di sinilah letak taji partai politik baru di uji.

(Penulis merupakan Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Adiwangsa Jambi)

Sumber : jernih.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

You cannot copy content of this page