Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.

SMRC: Belum Ada Efek Positif Deklarasi Anies-Muhaimin untuk Parta Pendukungnya di Jawa Timur

JAKARTA, newsikal.com – Paska deklarasi Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, belum ada efek positif perolehan suara partai-partai pendukungnya di Jawa Timur. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendapatkan suara 17,8 persen, Nasional Demokrat (Nasdem) 3,5 persen, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 1 persen. Perolehan suara partai-partai ini di bawah hasil pemilihan umum (Pemilu) 2019.

Demikian temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 2-11 September 2023. Hasil survei ini disampaikan pendiri SMRC, Prof. Saiful Mujani, dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Efek Ekor Jas Anies-Muhaimin di Jatim” yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 5 Oktober 2023.

Saiful menjelaskan bahwa sejauh ini PKB selalu menjadi kekuatan besar di Jawa Timur. PKB pernah menjadi nomor satu di Jawa Timur di pemilu awal reformasi 1999 dan Pemilu 2004. Di Pemilu 2019, mereka mendapatkan suara terbanyak kedua setelah PDI Perjuangan dengan selisih suara yang tidak banyak. Artinya, PKB memang kuat di Jawa Timur. Karena itu, menurut Saiful, jika berharap PKB lebih kuat lagi menjelang Pemilu 2024, hal itu ada dasarnya, karena selama ini PKB memang kuat di Jawa Timur.

“Karena itu deklarasi di mana ketua umum PKB menjadi calon wakil presiden, diharapkan ada efek ekor jas dari sana karena tokoh utamanya menjadi banyak dibicarakan. Kalau di Jawa Timur saja tidak mengalami kemajuan, efek deklarasi tersebut pada PKB di daerah lain mungkin juga tidak bisa diharapkan,” jelas Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.

Dalam survei nasional SMRC pada 2-11 September 2023, perolehan suara partai khusus di Jawa Timur, PDI Perjuangan mendapatkan suara 22,2 persen, PKB 17,8 persen, Gerindra 11.6 persen, Demokrat 6,3 persen, PPP 4,6 persen, Nasdem 3,5 persen, PAN 1,1 persen, PKS 1 persen, partai-partai lain di bawah satu persen, dan masih ada 21,6 persen belum menjawab.

Suara PDI Perjuangan tidak berbeda signifikan dengan perolehan suara 2019, dari 19,9 persen 2019 menjadi 22,2 persen di survei September 2023. Demikian pula dengan PKB dari 18,5 persen menjadi 17,8 persen; Gerindra dari 10,6 persen menjadi 11,6 persen; Golkar dari 10,2 menjadi 6,4 persen; Demokrat dari 8,8 menjadi 6,3 persen; PPP dari 5,6 menjadi 4,6 persen; Nasdem dari 10,3 menjadi 3,5 persen; PAN dari 5,4 menjadi 1,1 persen; dan PKS dari 3,8 menjadi 1 persen.

 

Saiful menyoroti penurunan suara partai Nasdem yang merupakan salah satu pendukung deklarasi Anies-Muhaimin. Partai ini menurun dari 10,3 persen di 2019 menjadi 3,5 persen. Saiful menduga kemungkinan sebagian suara Nasdem tersebut menunda pilihan. Dia menyatakan bahwa jika asumsinya sebagian pemilih Nasdem pindah ke partai lain, mestinya ada partai lain yang menguat, dan ternyata tidak ada.

Saiful menyimpulkan bahwa data ini secara keseluruhan menunjukkan tidak ada atau belum ada efek ekor jas deklarasi Anies-Muhaimin terhadap partai-partai pendukung mereka di Jawa Timur.

“Saya melihat deklarasi Anies-Muhaimin tidak (belum) punya coattail effect atau efek ekor jas dari deklarasi Anies-Muhaimin pada partai-partai pendukung mereka dan itu di Jawa Timur yang merupakan basis Muhaimin Iskandar,” jelasnya.

Saiful melanjutkan bahwa PKB memiliki basis di Jawa Timur dan deklarasi Anies-Muhaimin juga dilakukan di Jawa Timur, mestinya efek pertama dari deklarasi itu akan terlihat di Jawa Timur. Dia melihat kemungkin itu terjadi karena dukungan PKB pada Anies adalah keputusan elite. Dalam tradisi politik di Indonesia, jelasnya, keputusan elite sering tidak dikonsultasikan pada konstituen. Mereka (elite) sering mengambil keputusan sendiri dengan harapan konstituen mengikuti atau menyesuaikan diri dengan keputusan elitenya. Sementara di negara yang sudah mapan, lanjutnya, keputusan elite biasanya dikonsultasikan dengan konstituen. Pencalonan presiden, misalnya, mestinya melalui mekanisme dari bawah, misalnya melalui konvensi. Namun yang terjadi di Indonesia, misalnya dalam kasus pasangan Anies-Muhaimin, pasangan ini secara tiba-tiba diputuskan dan membuat banyak orang terkejut.

“Tradisinya selama ini di Jawa Timur, massa PKB adalah pemilih Joko Widodo. Karena itu, imajinasi umumnya pemilih PKB adalah akan memilih calon yang relatif dekat dengan Jokowi. Sejauh ini, dalam persepsi pemilih, Anies bukan tokoh yang dianggap dekat dengan Jokowi. Pasangan Anies-Muhaimin, kata Saiful, adalah sesuatu yang baru yang membutuhkan sosialisasi dan argumen untuk meyakinkan pemilih mengapa keputusan pasangan itu dibuat,” jelasnya.

Menurut Saiful, hal yang sama dengan Muhaimin Iskandar yang sebelumnya disosialisasikan sebagai calon presiden. Namun kemudian diputuskan menjadi calon wakil presiden. Bahkan menjadi cawapres pun sebelumnya disosialisasikan akan mendampinginya Prabowo, namun sekarang diputuskan menjadi Cawapres Anies dalam waktu yang relatif cepat. Karena itu, lanjutnya, wajar jika masyarakat di tingkat bawah belum begitu mengetahui tentang hal ini. Mungkin juga warga belum mengerti kenapa keputusan pasangan tersebut diambil.

“Ini menjadi tantangan pada elite PKB atau elite pasangan Anies-Muhaimin untuk menjelaskan pada konstituennya,” jelas Saiful.

Namun, Saiful menegaskan, kalau hanya berharap pada konstituen PKB yang ada selama ini, hal tersebut terlalu konservatif untuk mendapatkan dukungan besar pada pasangan Anies-Muhaimin. Karena tidak ada satu kekuatan partai yang mayoritas di wilayah mana pun, termasuk di Jawa Timur. Karena itu, tantangannya ada dua menurut Saiful. Pertama, meyakinkan konstituen PKB sendiri. Kedua, menjelaskan pada pemilih di luar PKB. Dia menduga kemungkinan menjelaskan pada massa di luar PKB atau partai pendukung Anies-Muhaimin tersebut akan lebih berat.

“Jadi kenapa sampai saat ini tidak terlihat efek ekor jasnya karena proses pengambilan keputusan tersebut (untuk memasangkan Anies dengan Muhaimin) tidak cukup bottom up. Mekanisme mendengarkan aspirasi pemilih diabaikan atau kurang dipertimbangkan sebagai faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan politik,” pungkasnya.

Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia di Jawa Timur yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (multistage random sampling) 180 responden. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 150 atau 83%. Sebanyak 150 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 8,2% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Waktu wawancara lapangan 2- 11 September 2023. (Red)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

You cannot copy content of this page